Capres Menyedihkan Geh! Pengamat Sebut Tewasnya Elektabilitas Anies Disebabkan Koalisi Perubahan yang Stagnan
Anies. (Foto: Ist)
Jakarta – Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC) A. Khoirul Umam memiliki pandangan tersendiri perihal “tercecernya” elektabilitas bakal calon presiden Koalisi Perubahan Anies Baswedan.
Terbaru, hasil survei Litbang Kompas periode Agustus 2023, kembali mengonfirmasi “tercecernya” elektabilitas Anies yang tertinggal dibandingkan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.
“Meskipun pernah mencapai elektabilitas di sekitar angka 29% pada pengujung 2022, namun selama paruh pertama tahun 2023 ini, elektabilitas Anies selalu “tercecer” di posisi terbawah dengan jarak angka cukup jauh dibanding capres potensial lainnya seperti Prabowo dan Ganjar,” katanya di Jakarta, dikutip Senin (28/8/2023).
“Tercecernya elektabilitas Anies itu juga dibayangi oleh kondisi Koalisi Perubahan yang kian stagnan. Di saat PKS dan Demokrat mengklaim siap mendeklarasikan pasangan capres-cawapres dan membentuk infrastruktur pemenangan Anies, Nasdem justru tampak bersikeras mengulur waktu hingga menit-menit terakhir (last minutes),” lanjutnya.
Menurut Khoirul Umam, tidak bergeraknya Nasdem kemungkinan besar disebabkan oleh situasi di mana sang ketua umum partai Surya Paloh tersandera oleh tangan-tangan kekuasaan yang tak terlihat (the invisible hand), yang belakangan punya hobi “menggebug” lawan politik dengan instrumen hukum. Karena ketakutannya pada manuver “tukang gebug” itu, lanjut dia, Paloh terus memilih diam, mengulur waktu, dan tidak segera memutuskan nasib keberlanjutan pencapresan Anies.
“Di sisi lain, Anies yang seharusnya tampil agresif memimpin koalisi, kini juga ikut-ikutan diam menyaksikan koalisinya stagnan dan elektabilitasnya masih terseok-seok pada enam bulan menjelang Pilpres 2024 mendatang. Bahkan, selaku capres Pro-Perubahan, Anies sendiri belakangan juga tampak semakin gamang dan tidak cukup keberanian untuk mengkritik kebijakan pemerintahan yang ia klaim hendak ia ubah,” ujar Khoirul Umam.
Problemnya, menurut dia, stagnasi elektabilitas Anies dan bergemingnya Nasdem dalam jangka panjang ini betul-betul menjadi “ujian berat” bagi partai-partai pengusung Anies lainnya.
Selain terancam tidak akan mendapatkan efek ekor jas (coat tail effect) dari pencapresan Anies, PKS dan Demokrat kini juga tampak mulai gusar setelah merasakan koalisinya seolah tidak ada kemajuan, tidak ada kesetaraan dalam pengambilan keputusan di internal koalisi, dan tidak ada keseriusan untuk bergerak bersama.
Karena itu, kata Khoirul Umam, munculnya ide penggabungan Ganjar-Anies sebagai pasangan capres-cawapres belakangan ini, dipandang sebagai bagian dari “strategi awal pembubaran” Koalisi Perubahan, agar salah satu dari partai yang merasa tidak nyaman itu bisa segera keluar dari koalisi.
“Jika ini terjadi, maka deadlock Koalisi Perubahan sebenarnya bukan semata-mata akibat benturan ego elite partai-partai, tetapi juga akibat dari cawe-cawe tangan kekuasaan yang ‘mengunci’ tangan dan kaki salah satu partai pengusung Anies, sehingga gamang dan tidak siap menghadapi risiko besar pencapresan Anies ke depan,” sebutnya.
Lebih lanjut, Khoirul Umam bilang, jika Koalisi Perubahan benar-benar masih ingin tampil kompetitif, seharusnya Anies bisa lebih agresif dan berani memecah kebekuan di dalam koalisinya. Sebab, pascabergabungnya Golkar dan PAN ke kubu Prabowo, konfigurasi parpol pembentuk poros koalisi saat ini sudah fase final. Tidak ada lagi yang perlu ditunggu.
Jika Anies tetap terdiam, menurut Khoirul Umam, Anies tidak sadar dirinya hampir kehilangan momentum. Anies seharusnya juga paham bahwa success story-nya di Pilkada Jakarta 2017, di mana elektabilitasnya sempat tercecer di awal kontestasi, tidak bisa disamakan dan diterapkan kembali dalam kontestasi Pilpres Indonesia.
“Maka sebagai kekuatan penantang yang memiliki jaringan, kekuatan politik, dan logistik yang relatif terbatas, seharusnya Anies dan koalisinya bisa bergerak cepat dengan deklarasi capres-cawapres, finalisasi Sekretariat Bersama (Sekber), dan membentuk infrastruktur pemenangan. Sehingga elektabilitasnya sebagai capres kembali kompetitif menjelang Pilpres 2024 mendatang,” tutup Khoirul Umam.
Komentar
Posting Komentar