Anies. (Foto: Ist)
Jakarta – Banyak pernyataan dari juru bicara Tim Kampanye atau para pendukungnya menyebut Anies Baswedan sering dibully.
Digambarkan seakan Calon Capres itu menderita, terdesak, terpojok dan hal-hal bernuansa ungkapan tertindas lainnya.
Secara komunikasi bisa jadi berbagai pernyataan itu bagian strategi untuk menggambarkan betapa Anies sangat teraniaya.
Menderita menjadi korban bullying. Tentu tujuan akhirnya harapan mendapat simpati masyarakat.
Sebuah strategi yang belakangan dipakai oleh beberapa politisi yang kurang percaya diri. Cara ini pernah dipakai pada Pilpres 2004 dan berhasil.
Menyebar kondisi psikologi terkesan tertindas memiliki persambungan dengan realitas politik negeri ini ketika Ibu Megawati di masa Orde Baru menjadi korban tindakan represif politik kekuasaan.
Pengalaman pahit Ibu Megawati dijadikan alat komunikasi politik. Tentu jelas bedanya.
Ibu Megawati benar-benar menderita karena kedzaliman rezim Orde Baru sedang lainnya sekedar mengesankan tertindas saja agar mendapat simpati masyarakat.
Harus diakui sebagian masyarakat Indonesia mudah sekali bersimpati kepada mereka yang dianggap tertindas. Sebuah watak indah yang sayangnya disalahgunakan sebagian politisi.
Apakah Anies Baswedan selama ini menjadi korban bullying? Pertanyaan inipun sebenarnya tidak pas jika memahami arti bullying. Sebab praktis Anies bisa pergi ke mana-mana.
Dapat bicara bebas, mengkritik pemerintahan Jokowi tanpa ada masalah.
Tidak ada yang menekan, apalagi dalam bentuk kekerasan. Aman-aman saja ke mana akan pergi dan mau bicara apa saja. Bebas dan sangat leluasa. Bahkan ketika Capres lain seperti Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo masih santai saja, Anies sudah pergi ke mana-mana. Lalu, mana unsur bullying nya?
Kalau banyak masyarakat menertawakan memang benar. Hampir setiap saat terutama di media sosial menertawakan Anies sehingga tipis batas dia sebagai politisi dengan stand-up comedy.
Siapa yang tidak akan mentertawakan ketika Anies menyebut kaki sebagai alat transportasi yang dimiliki semua orang.
Coba, siapa yang tak akan tertawa terbahak-bahak ketika Anies menyebut udara tidak memiliki KTP. “Udara tidak ada KTP nya, ” katanya dalam satu kesempatan.
Ketika Anies ingin merobah rumah sakit menjadi rumah sehat pun banyak mengundang tawa. Apalagi ada petikan ucapan bahwa untuk sembuh harus sakit, atau untuk sehat harus sakit dulu.
Menyebut saat ayam berkokok menutup mata karena sudah hafal teks juga membuat tertawa siapapun walau tak terbukti. Jadi ada faktor yang menyebabkan masyarakat mentertawakan yang datang dari Anies sendiri.
Yang agak serius juga relatif lumayan jumlahnya. Ketika menjelaskan bahwa kerja harus berbaris narasi, narasi harus berbasis gagasan mengundang decak heran dan bingung. Pernyataan agar air parkir di rumah, juga membuat tersenyum walau maksud sebenarnya bahwa perlu di masing-masing rumah dibuat sumur resapan.
Berbagai istilah yang dikatakan Anies juga menimbulkan tanda tanya seperti pohon yang di Monas dicabut untuk dikarangtina. Istilah lain masih banyak lagi seperti naturalisasi, head start dan entah apalagi. Hampir semua mengundang rasa heran dan tawa.
Apakah ini juga bagian dari strategi Anies agar terus dibicarakan? Juga tidak jelas. Yang sangat jelas bahwa tidak ada reaksi tanpa aksi. Juga sangat jelas Anies aman-aman saja, tak ada yang menekan, mempersulit dia.
Inilah belantara politik Pilpres yang diwarnai kekonyolan walau tetap lumayan sebagai hiburan karena dapat mengundang tawa.
Komentar
Posting Komentar